Ketika Hatiku GALAU




Dalam segala kegalauan hatiku ini.
Dalam segala renungan panjangku.
Aku terpuruk dalam sepi.
Rasa sepi yang begitu menyiksa.
Rasa tercampakkan ini begitu menyakitkan.
Asa itu pergi entah kemana.
Seperti kamu yang semakin menjauh dariku.

Kenangan indah mengabur tertutup kabut.
Dan kau turut bersamanya…
Menghilang perlahan namun tetap terasa.
Dan aku bagai daun yang berguguran tertiup angin senja.
Melayang-layang tak tentu rimba,
Karena kau lepaskan pegangan tanganmu dariku.

Entah apa yang sebenarnya kau cari.
Aku berusaha mengerti namun tetap saja tak mengerti.
Aku berusaha memahami walau kau tak berusaha ikut memahami.
Tak tahu apa yang harus kulakukan.
Tak ada lagikah aku di hatimu?
Tak sama lagi kah rasamu seperti rasaku… atau rasa kita yang dulu pernah sama sudah menghilang entah kemana….

Kusadari aku tidaklah sempurna.
Kusadari mungkin aku tak bisa menjadi seperti yang kau minta.
Sekuat apapun aku ingin memenuhinya….
Selalu kurang saja di matamu.
Selalu saja salah karena tak seperti yang kau mau….

Cinta itu sebenarnya apa?
Aku menjadi tak mengerti adakah sebenarnya cinta di antara kita?
Bukankah cinta penuh dengan segala rasa?
Bukankah cinta itu saling peduli?
Bukankah dengan cinta perbedaan pun menjadi sama….
Jika memang ada cinta, pergi kemana sekarang cinta?
Menghilang kemana cinta itu?

Aku ingin mencarinya….
Tapi aku tak tahu kemana harus mendapatkannya.

Katanya cinta itu ada di dalam hati.
Sejak kutahu itu… kutitipkan hatiku yang penuh dengan cinta kepadamu….
Kenapa kau kini menjauh dariku?
Dan kenapa hatiku juga kau bawa pergi?

Sekarang bagaimana aku melanjutkan hidupku tanpa hati?
Bagaimana aku melanjutkan hidupku tanpa kamu yang pernah begitu mencintaiku

Sekarang semuanya begitu hampa. Sekuat tenaga aku menata. Sekuat tenaga kutahan rindu yang menyiksa. Segala cara kualihkan tentangmu yg selalu bermain di pelupuk mata.
Tapi aku tak bisa…

Bagaimana caranya aku menghilangkanmu jika ternyata kmu sudah menjadi nafasku.
Bagaimana caranya aku melupamu jika aku hanya ingin hidup di dunia yang ada kamunya.
Sekuat apa aku harus berusaha jika kau terus bermain dalam setiap nafas yang terhela…
Jika… Aku adalah kamu. Dan kamu adalah aku. kenapa perlahan kau bangun batas itu.
Batas yang membuat kita kembali menjadi dua… bukan lagi satu…..

Aku ingin tahu… bagaimana kamu hidup tanpa mengingatku…?
Aku sungguh ingin tahu bagaimana kau melewati harimu jika mengingatku saat ada kata sempat?
Bagaimana caranya???
Bisakah kamu memberitahuku?
Dalam diam ku menunggu… menunggu saat-saat kau kembali ingat padaku.
Menunggu yang begitu sepi dan menyesakkan.
Menunggu dalam rindu dan pilu yang menjadi satu…
Aku sungguh lelah menunggu kalau akhirnya hanya tangis yang datang menyapaku.

Kenapa cinta begitu penuh rasa sakit seperti ini?
Kenapa rindu tak berbalas hampir membuatku mati?
Kenapa rindu ini menjadi setengah mati…..

Kini jauh sudah kujalani kisah cinta kita yang menjadi penuh duri…
Kini kuhancur dan rapuh….Aku tak yakin lagi ada cinta di dunia ini
Hari-hari kini kulalui dalam sunyi….
Tanpa mimpi dengan seribu tanya sesaki sudut hati

Masihkah ada cinta dihatimu?
Tak dapatkah kau tulus mencintaiku?
Tak dapatkah kau menyayangiku?
Tak dapatkah kau pahami sedikit saja inginku?

Atau kau akan tetap terus melangkah pergi.........
Dan membiarkanku terbiasa dalam sepi.

Ketika kau tak lagi peduli lagi padaku
Ketika saat sempat saja kau cari aku
Dan aku mulai menyelam dalam rindu
perlahan melayang bagai debu..

Sebuah Kebahagian



Kebahagian itu adalah sebuah pilihan ,Karena menjadi diri ini dengan segala kenikmatan raga yang lengkap adalah kenikmatan banget. Mendapati diri ini dengan keindahan fisik adalah  anugerah, inilah sebaik-baiknya rupa yang telah Allah berikan pada kita. Dengan salah satu ucapan syukur atas anugerah sering kita ucapkan ketika bercermin dengan kalimat “Ya Allah, sebagaimana engkau telah membaguskan rupaku, maka baguskanlah akhlaqku”. Satu kalimat pengharapan yang selalu kita minta untuk selalu berada di koridor ‘kebaikan

menjadi bahagia?? Siapa yang tidak menginginkan itu semua?
Tetapi  diluar ‘dunia bahagia’ itu ada suatu rintangan yang seringkali aku dan mungkin sahabat  temukan juga. Sebuah kesedihan. Menangis, merenung, kecewa itulah berbagai expresi yang menghalangi jalan menuju ‘DUNIA BAHAGIA’

Bahagia itu pilihan Shob Banyak sedikitnya kesedihan yang dialami bukan parameter seseorang dikatakan bahagia, tetapi seberapa lama seseorang terjembab dalam kesedihan tersebut.

Sedih karena telah berbuat dosa sedangkan dari diri tidak berusaha untuk bangkit karena selalu saja dihantui oleh perbuatan tersebut. Alloh saja Maha pengampun, maka minta saja pengampunan pada Nya sebanyak mungkin, karena kita tak akan kehabisan stok ampunan dari Nya. 99 Asmaul Husna itu benar adanya.

Tak mungkin satu manusia pun yang tak melakukan dosa. Semuanya pasti pernah berbuat, yang membedakannya adalah setelah itu. Memahami makna Taubat itu sangatlah berat. Penyesalan diri pada Alloh,  berhenti melakukannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Jika istighfar itu ibarat mandi yang berfungsi membersihkan kotoran, maka memperbanyak istighfar pun bisa mengurangi dosa-dosa kecil kita.

Salah satu yang menghalangi bahagia adalah jika kita mempunyai rasa DEMDAM shob. Ya, dulu aku mempunyai sifat pendendam. Tetapi bertambahnya saudara  yang memberiku banyak warna mengubahku menjadi seorang yang pemaaf. Tidak mudah mengubah sifat tersebut, awal yang berat tetapi akhirnya saya pun bisa melakukannya sedikit demi sedikit.

Mengubah kalimat umpatan menjadi sebuah pengharapan melalui doa. Karena pastinya kita semua tidak mau masuk surga sendiri kan??
Kata maaf yang dulu ku pun juga sulit kuucapkan. Sekarang kata maaf menjadi sebuah permohonan maaf yang tulus. Dan tak akan tenang sebelum mendapat balasan “ya, saya memaafkanmu”.

Menjadi bahagia?? Adalah tentang kesegeraan bangkit dari keterpurukan kemudian membuatnya baru lagi, mereset ulang niat, mengecat ulang casing kita yang lusuh, menyegarkan kembali yang telah layu, dan bahkan memberikan semangat yang lain untuk terciprat kebahagian dari kita.
Bahagia itu ketika orang yang kita sayangi  berubah menjadi lebih baik. Bahagia itu sesuatu yang tidak bisa dilogika, bahkan tanpa alasan. Bahagia adalah karunia terindah yang Ia berikan pada kita semua..

Semoga aku dan kamu akan bahagia slalu… karna kebahgaian itu pilihan….

Sahabatku



Haay shabat … apa kau masih mengingatku shob? Jika kau melontarkan pertanyaan sepertu padaku, aku akan menjawab: “Masih. Selalu.” Tak pernah satu hari pun kulewatkan tanpa mengingatmu. Tak pernah sekali pun tanpa mencemaskanmu, memikirkan apa kau baik-baik saja di sana?? . Aku tak peduli jika kau benar-benar sudah melupakanku. Sungguh. Aku tak menuntutmu untuk terus mengingatku. Seorang sahabat tidak pernah menuntut apa pun, kan?

Tapi aku tidak ingat apa saja yang pernah kita bicarakan, hal apa saja yang pernah kita debatkan. Aku hanya ingat, berbicara denganmu, tentang hal apa pun, rasanya sangat menyenangkan. Aku tidak tahu banyak tentangmu karena kita tak pernah berbicara banyak tentang itu. Kau hanya menguraikan mimpimu, harapan yang ingin kauwujudkan dalam hidupmu. Dan harapanmu sesederhana milikku. Kita hanya ingin bahagia.

Kau ingat? Kau dan aku berawal dari sebuah puisi. Saat itu aku hanya berusaha memahami apa yang kaumaksudkan. Entah dengan tujuan apa. Aku merasa tertarik dengan apa yang kaurasakan dan bagaimana kau mengungkapkan semua itu. Lalu kau mengajakku memahami banyak perasaan dengan tidak terpaku pada sudut pandangku saja. Kita sama-sama berusaha menyelami apa yang kita rasakan.

Tapi sayangnya, kau hanyalah maya. Kau terlalu maya untuk bisa bertahan dalam dunia nyataku. Tidak. Mungkin kau memang tidak pernah ingin masuk ke duniaku. Kau benar-benar maya. Jangankan menyentuh duniamu, membayangkanmu saja aku tak mampu. Takkan mungkin bagiku untuk itu.

Kau maya. Kau sahabatku. Dan aku menyukaimu. Bodoh memang, menyukai bayangan yang bahkan tak jelas bagaimana rupanya. Hahaha.

Baiklah, Sahabatku, mungkin sekarang kau memang sudah tak mengingatku lagi. Tak apa apa. Sungguh. Aku menerimanya dengan perasaan yang baik. Yang perlu kautahu, aku masih sahabatmu. Masih. Sekarang dan sampai kapan pun. Terimakasih sudah pernah menganggapku sebagai seorang sahabat. Terimakasih banyak.. :)

Memperbaiki Masa Depan



Gelap sudah semua. Tiba-tiba gelap sekitika . Tidak ada penerang apa pun di kamarku ini yang kecil. Jeritku tertahan tahan. Dan aku membuang napas dengan sekeras-kerasnya. Ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh, tidak ada gunanya!, umpatku dengan kesal dalam hati :/.

Aku membenamkan kepalaku ke bantal yang sedari tadi ada di pangkuanku. Gelap ini terasa menyesakkan bagiku. Aku merasa berada di tempat yang asing banget. Hanya ada diriku dan semua kebingungan yang saat ini menghinggapiku. Aku merasa kosong. Sungguh. Aneh, pikirku. Padahal sejak tadi pikiranku dipenuhi dengan banyak hal sampai-sampai membuatku ingin meledakkan kepalaku. Oh, tidak, aku masih sayang pada diriku. Kalau begitu, aku ingin tidur saja rasanya. Selalu deh, di saat sedang terdesak seperti ini dengan ketakutan yang menggunung terhadap apa yang akan terjadi, aku selalu ingin tidur. Tidur dan terbangun saat semuanya sudah selesai. Tidur agar aku tidak perlu menghadapi semua rasa takutku. Tidur agar aku tidak perlu melalui waktu yang ingin kuhindari. Pengecut, bukan? Itu sama saja lari dari masalah.

Oh, aku tahu. Aku ingin pergi ke tempat yang tidak berbatas waktu. Aku ingin terbebas dari himpitan waktu. Pernah merasa frustasi tidak dengan waktu? Kalau kalian bertanya padaku, jawabannya: pernah. Bahkan sering. Kenapa ujian harus dibatasi waktu? Kenapa tugas harus dibatasi waktu? Kenapa segala sesuatunya selalu dibatasi waktu? Oke, aku tahu aku pasti terlihat sangat konyol karena menanyakan hal-hal seperti itu.

Sial!
Aku membuang bantal yang kupegang dengan sembarang. Kesal. Aku kesal dengan diriku. Kesal dengan kebodohanku. Kenapa aku tidak pernah bisa belajar dari kesalahan?

Tiba-tiba saja aku teringat dengan pertanyaan yang terlontar untukku saat aku berkunjung ke rumah kerabatku hari raya taun kemarin.
“Udah semester  tujuh, kan? Udah mulai nyusun skripsi doong?”
Aku hanya tersenyum kecil menanggapi pertanyaan budeku itu. “Doain aja ya, budee, semoga bisa cepet,” jawabku.

Otakku lalu kembali terngiang dengan pertanyaan serupa yang kudapatkan kemarin. Pertanyaan dari seorang adik tingkat yang kebetulan menumpangi bus yang sama denganku.

“Berarti Kakak udah mau lulus ya?”
Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. “Seharusnya sih begitu,” tukasku dalam hati.
Bukan hanya dari mereka berdua pernah kudengar pertanyaan semacam itu. Apa itu pertanyaan wajib untuk mahasiswa tingkat akhir sepertiku?

Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku tersadar. Ternyata waktu berjalan begitu cepat. Rasanya belum lama aku lulus SMA. Rasanya seperti baru kemarin aku menjadi mahasiswa baru. Namun, lihatlah sekarang! Sudah ada tiga angkatan yang menjadi adik tingkatku. Hehe..
Ya, waktu terasa berlalu dengan cepat. Sangat cepat. Kata Eddi –salah satu teman STM-ku–, jika kita merasa waktu berjalan terlalu cepat, tanyalah pada diri kita sendiri, apakah kita yang berjalan terlalu lambat?. Ah, dia benar! Selama ini aku memang berjalan terlalu lambat. Bodohnya aku karena tidak menyadari bahwa waktu tidak pernah bisa menunggu. Tidak ada kesempatan yang diciptakan untuk orang-orang yang lamban. Kesempatan ada untuk mereka yang berani dan cepat.

Aku menarik napas panjang. Suasana gelap ini membuat banyak hal berkelebat dalam pikiranku. Aku teringat dengan masa-masa yang telah aku lewati selama tiga tahun masa kuliahku. Semester-semester awal yang menyenangkan, serasa tanpa beban. Tidak kuduga sebelumnya bahwa waktu yang kuhabiskan dengan bersantai dulu harus dibayar dengan waktu yang sekarang terasa begitu menghimpitku.

Setelah cukup lama bergeming di tempat, aku bergerak memeluk kedua lututku. Rasanya dingin. Sejak tadi aku memang duduk di lantai kamarku yang hanya beralaskan karpet yang tidak terlalu tebal. Listrik masih padam dan jujur saja aku tidak menyukai gelap. Itu yang membuatku malas beranjak ke tempat tidur dan memakai selimutku. Mungkin sudah setengah jam lamanya aku dalam posisi dudukku sekarang. Duduk menghadap laptop yang tadi baru saja akan kunyalakan sesaat sebelum listrik tiba-tiba padam.

Aku menghela napas. Entah ini yang keberapa kalinya. Bagus sekali, pekikku dalam hati. Bahan presentasi besok pagi yang belum kubuat, proposal penelitian yang masih ada di awang-awang, dan satu lagi: cerpen untuk sebuah lomba yang deadline-nya besok sebelum pukul tiga sore. Semua itu menunggu untuk kukerjakan.

Kenapa harus malam ini?
Oke, itu pertanyaan yang sangat bagus.
Sekali lagi kukatakan, aku tidak pernah bisa belajar dari kesalahan. Selalu saja mengerjakan sesuatu di saat mendesak. Selalu saja seperti itu. Bodoh! Aku juga tidak tahu kenapa ide selalu datang di saat waktuku sudah hampir habis.

Sekarang, katakan padaku, apa yang bisa kulakukan di saat listrik padam seperti ini? Laptopku tidak menyala, baterai lemah. Begitu juga dengan handphone-ku yang tidak sempat ku-charge tadi. Malangnya, semua pekerjaanku malam ini harus kuketik.

Pasrah. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin ini peringatan bagiku. Peringatan bagi orang bodoh yang sudah terlalu sering menyiakan waktu. Peringatan untuk aku yang sudah terlalu banyak membuang kesempatan.
Menyesal?

Tentu saja iya. Di saat seperti ini, pengandaian-pengandaian bodoh terus saja mencuat dalam benakku. Andai dulu aku begini, andai dulu aku begitu. Ah!
Namun, sudah pasti penyesalan itu sama sekali tidak berguna. Sebesar apa pun penyesalan yang ada sekarang, tetap saja itu tidak bisa mengembalikan waktu yang sudah kusiakan. Bahkan Doraemon dengan mesin waktunya pun tidak bisa membantu karena sayangnya ia hanya ada dalam komik.
Satu hal yang terus berusaha kuyakini saat ini adalah selalu ada alasan atas setiap hal yang terjadi. Ada skenario yang Tuhan mainkan yang seringkali butuh waktu yang tidak sebentar untuk memahami itu.

Baiklah, sekarang aku sangat lelah. Lelah dengan semuanya. Lelah karena rutinitasku yang padat setiap harinya. Lelah karena tugas yang menumpuk itu. Lelah dengan ketakutanku akan apa yang terjadi besok. Lelah dengan diriku.

Aku ingin tidur. Seperti yang kubilang tadi, aku ingin tidur dan terbangun saat semuanya sudah berlalu.
Jarum jam dinding di kamarku tepat menunjukkan jam tiga. Aku terkesiap. Aku kembali mengerjap-ngerjapkan mataku. Aku lalu memandang berkeliling. Terang. Sudah terang. Aku ingat sebelum mataku terpejam tadi kamarku masih gelap karena listrik padam.

Aku pasti tertidur. Jam baru menunjukkan setengah jam sebelum tepat tengah malam terakhir aku melihatnya sebelum kamarku gelap. Entah jam berapa lampu kamarku kembali menyala tadi. Aku tidak peduli. Aku bergegas menyalakan laptopku dan men-charge handphone-ku. Aku masih punya waktu satu jam lebih sebelum aku berangkat jam lima pagi nanti.

Aku mulai dengan proposal penelitianku. Ini yang terpenting bagiku saat ini. Proposal penelitian yang merupakan langkah awal perjuanganku untuk lulus kuliah. Slide untuk presentasi jam sepuluh nanti akan kusiapkan di pergantian jam pertama dan kedua. Cerpen akan kubuat saat istirahat makan siang nanti. Aku tinggal menuliskannya saja, ide sudah ada dalam otakku.
Aku tahu ini terlihat sangat buruk. Semoga tidak ada yang mencontohnya.

“Bismillahirrahmanirrahim”. Aku memulai rencanaku. Aku tahu mengerjakan sesuatu dengan tergesa seperti ini bukanlah sesuatu yang baik. Namun, mau bagaimana lagi. Toh aku tidak bisa kembali ke masa lalu untuk mengulang waktuku dan mengubah semuanya. Yang aku miliki sekarang hanyalah saat ini, saat yang masih bisa kuubah untuk memperbaiki masa depaan

Template by:

Free Blog Templates